Kamis, 19 Mei 2022

Taqlid Buta ??

 Oleh : Ustadz Kusnady Ar-Razy

 Copas by : BAKRI (Bang Kribo)



Apa itu taqlid? Secara bahasa taqlid adalah "ittiba'ul ghairi duuna taammul", mengikuti orang lain tanpa berfikir. Atau secara istilah yaitu sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani:


هو العمل بقول الغير من غير حجة ملزمة


"Beramal dengan pendapat orang lain tanpa hujjah yang mengikat."


Apakah taqlid itu tercela? Sama sekali tidak, jika taqlidnya dalam hukum syara'. Berbeda dalam perkara aqidah, sebab taqlid dalam aqidah hukumnya haram. Sebab (dalam hukum syara') orang awam wajib bertanya kepada ahli ilmu, sesuai dengan perintah Allah, fas-aluu ahla adz-dzikr. Jadi selama orang awam bertaqlid kepada ahlu dzikr, maka itu perbuatan terpuji karena selaras dengan perintah Allah.


Siapa ahlu dzikr? Apakah ahlu dzikr itu harus mujtahid? Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani mengatakan:


فالعالمون بالأحكام الشرعية هم من أهل الذكر سواء أكانوا عالمين علم اجتهاد أم علم تلق


"Orang-orang yang mengetahui hukum-hukum syara' adalah ahlu dzikr, sama saja apakah mereka mengetahui ilmu ijtihad (punya kemampuan berijtihad), ataukah ilmu talaqqi (yang didapatkan dengan cara belajar secara langsung)."


Karena itu, selama orang awam bertaqlid kepada ahlu dzikr, tidak boleh dicela, karena syara' membolehkannya. Sekalipun mereka tidak tahu dalil yang mendasari pendapat yang mereka ikuti. Karena baik muqallid itu mengetahui dalilnya atau tidak, sama saja karena hakikatnya sama-sama taqlid. Adapun istilah taqlid 'buta' misalnya, jika yang dimaksud adalah taqlid tanpa tahu dalil dan pendalilannya, adalah istilah yang rancu, apalagi jika dipakai dengan konotasi negatif. Karena para ulama tidak membuat klasifikasi taqlid dan taqlid buta dalam hukum syara'. Karena taqlid baik tahu dalil maupun tidak, sama saja.


Seorang da'i mestinya bijak dalam menyampaikan pandangannya di tengah-tengah masyarakat. Kita dan masyarakat awam itu posisinya sama, sama-sama muqallid, kecuali Anda mujtahid. Selama mereka taqlid kepada ahlu adz-dzikr (yaitu para ulama), tentu tidak benar jika kita mencelanya, selemah apapun pendapat yang diikuti (menurut kita). []


[KAZ]

Jumat, 25 Mei 2018

RESENSI BUKU



UMAT ISLAM DALAM KANCAH PERPOLITIKAN NEGARA (ORBA)
JUDUL BUKU          :GERAKAN PELAJAR ISLAM DI BAWAH BAYANG-    BAYANG NEGARA
PENULIS                   :Djayadi Hanan
Penerbit                       :UII PRESS Yogyakarta
TEBAL                       :xvi + 288 Halaman
Di Negara Indonesia yang bercorak plural ini, tidak jarang kita jumpai kalangan etni-etnis masyarakat yang beragam. Mulai dari yang berlatar agama,ras,suku,hingga perbedaan pandangan dan ideologi.
Hal ini pula yang terjadi pada etnis masyarakat muslim.Umat muslim Indonesia,secara gamblang dapat kita bagi menjadi “golongan hijau” dan “golongan kuning”.Golongan  hijau  dapat kita artikan sebagai masyarakat muslim yang concern  terhadap ajaran-ajaran Islam.Sedangkan  golongan kuning adalah  golongan masyarakat yang beragama Islam ,tetapi phobia atau anti  terhadap ajaran Islam seperti sekuler,liberal,plural,kejawen,dsb.
Kita dapat melihat kilasan sejarah  republik ini.Mulai dari masa pemerintahan orde lama,orde baru,hingga masa reformasi sekarang.Banyak kebijakan pemerintah yang terkadang bertentangan dengan ajaran islam dan aspirasi umat Islam.Sebagai contoh adalah konsep yang ditawarkan rezim orde lama tentang  Nasakom,pemberlakuan UU No.85 tentang Keormasan pada rezim orde baru,serta perumusan RUU APP pada mas reformasi.
Khusus pada mas orde baru,Djayadi Hanan,penulis buku ini ,yang juga merupakan mantan ketua umum PB PII periode 1998-2000,menggambarkan secara gamblang tentang bagaimana reaksi umat Islam,khususnya para aktivis PII terhadap UU keormasan tersebut.Bertolak dari hal ini,yakni kasus penolakan Pelajar Islam Indonesia (PII) terhadap UU Nomor 8 Taun 1985 yang menyatakan setiap ormas harus berdasar Pancasila (Asas Tunggal),penulis buku ini melukiskan gejolak pelajar Islam atas tekanan rezim orde baru.Istimewanya,kasus tersebut dikaji dari sudut “orang dalam” sehingga peta dinamika hubungan Islam dan negara orde baru terekam kuat dari kaca mata politik gerakan pelajar Islam.Hal ini wajar.Karena di samping penulis adalah mantan Ketua Umum PB PII periode 1998-2000.Beliau juga adalah mantan ketua umum PW PII Sumatera Selatan yang juga menjadi satu Pengurus Wilayah PII yang tidak setuju akan sikap PB PII untuk mereformalisasi  gerakan PII.
Meskipun begitu,penulisnya juga dapat mengetengahkan kupasan objektif dari sudut orang luar.Hal ini dapat kita lihat dari sikap Menteri Agama RI Tarmizi Taher pada saat menerima kunjungan delegasi PB PII pada tanggal 11 Agustus 1995.Dalam  kesempatan  itu,di samping menyatakan bahwa Beliau akan membantu proses registrasi PII ke Departemen Dalam Negeri,beliau juga mengingatkan agar PII tidak lagi “merasa pintar sendiri” sehingga lebih pintar dari MUI.(Halaman 211 alinea ke-2)
Peringatan atau statement Menteri Agama RI Tarmizi Taher ini bisa kita artikan bahwa pemerintah dan juga komponen masyarakat yang menerima Pancasila sebagai Asas Tunggal mempunyai penilaian yang miring terhadap sikap PII yang menolak Pancasila sebagai Asas Tunggal.Kita mungkin dapat melihat pernyataan Faisal Ismail dalam bukunya “Pijar-Pijar Islam Pergumulan Kultur dan Struktur”.Dalam buku tersebut ia menyatakan “Dengan penolakan PII dan HMI-MPO terhadap asas tunggal maka dapat disimpulkan bahawa hanya sebagian kecil saja dari umat Islam Indonesia yang menolak Pancasila sebagai Asas Tunggal,sedangkan umat Islam yang lain setuju.
Pembahasan ini menarik,sebab menggambarkan kontradiksi sikap umat Islam dalam menyesuaikan diri terhadap UU Keormasan.Misalnya dalam tubuh Nahdatul Ulama.Ormas ini setelah berdiskusi dengan presiden dapat dengan mudah menerima Pancasila sebagai asas tunggal.Berbeda dengan Muhammadiyah, Muhammadiyah sendiri baru menerima asas tunggal setelah melalui  perdebatan yang cukup dinamis dalam Muktamar ke-41 (1985) di Surakarta. KH A.R Fachruddin, Ketua PP Muhammadiyah saat itu, mengibaratkan asas tunggal seperti "helm" bagi pengendara motor. Sedangkan PII,dengan tegas menyatakan menolak Pancasila sebagai Asas Tunggal.Konsekwensi logisnya,PII tidak diakui lagi oleh pemerintah dan harus bergerak secara informal atau  bawah tanah karena setiap kegiatan yang tersangkut paut dengan PII dilarang.
Hal  lain yang menarik dari buku “Gerakan Pelajar Islam  Di Bawah Bayang-Bayang Negara” ini  ialah bahwa buku ini tidak hanya mengupas mengenai gerakan informal PII saat menolak asas tunggal saja,tetapi meluas sampai tentang sejarah pergerakan PII dari masa ka masa.PII,sebagaimana menentang kebijakan pemerintah orde baru terhadap asas tunggal,ternyata juga turut berpartisipasi aktif dalam perjuangan mempertahankan republik ini dari berbagai ancaman baik dari dalam maupun dari luar.
Khusus  terhadap ancaman dari dalam.PII turut serta dalam  perjuangan melawan tirani pemerintahan rezim Soekarno yang  pada masa Demokrasi Terpimpin  banyak disusupi paham komunisme dan orang-orang PKI.PII,yang merupakan musuh bebuyutan PKI sejak tahun 1948  berupaya untuk membersihkan kabinet Dwikora dari unsur PKI dengan memelopori berdirinya Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI).Sebagaimana diceritakan oleh Taufik Ismail dalam pengantar buku kumpulan sajaknya “Tirani dan Benteng” menyatakan bahwa untuk mengganyak PKI maka dibentuk KAPPI hingga lengsernya rezim Soekarno digantikan oleh rezim Soeharto dengan otokratis orde barunya.
Demikian komplitnya,buku ini penting dibaca aktivis pergerakan seperti mahasiswa,LSM,atau lembaga-lembaga independen yang concern akan demokrasi dan HAM.Buku ini juga dapat dikatakan menjadi bacaaan wajib kader/ aktivis PII untuk menambah khazanah ke-PII-annya sehingga ghiroh semangat juang tetap terpatri dalam diri kader-kader PII.

Note : 
Tulisan ini saya buat sebagai salah satu persyaratan untuk Intermediate Training PII Sumut bulan Juni 2011. Pada bulan Januari tahun 2012, saat akan mengikuti Advance Training di Padang, tulisan ini sempat  diperbaiki sebagai persyaratan mengikutinya. Namun dalam beberapa hal sempat pula dikritisi oleh tim screening PW PII Sumut.
Tulisan ini saya temukan dalam arsip email yang sudah lama tidak terbuka dan sengaja saya posting di blog agar dapat menjadi pengingat akan masa-masa awal perjuangan dulu.

(Ansor Rasyidin Assaad)



Rabu, 09 Mei 2018

KHILAFAH ADALAH MIMPI



Khilafah adalah sistem pemerintahan yang wilayah kekuasaannya tidak terbatas pada satu negara, melainkan banyak negara di dunia yang berada di bawah satu kepemimpinan dengan dasar hukumnya adalah syariat Islam.

Bagi sebagian orang, memperjuangkan khilafah adalah sebuah utopia karena bagaimana mungkin bisa mempersatukan kaum muslimin dari berbagai belahan dunia yang telah terikat pada sistem nation state. Namun bagi sebagian lagi memperjuangkan khilafah adalah sebuah keniscayaan yang bersumber dari rasa keimanan yang kokoh.

Terlepas dari bagaimana sikap dan pandangan orang lain terhadap Khilafah, bagi saya Khilafah adalah mimpi.

Ya..!!!

Sebab mimpi berbeda dengan dongeng sebagaimana saya pernah menganggap bahwa syariat Islam yang menentramkan adalah dongeng. Dongeng yang hanya ada dalam kitab-kitab fikih yang kerap saya pelajari saat sekolah di MTs dan MA beberapa tahun silam. Dongeng yang tak lagi ada dalam kehidupan nyata. Atau dongeng tentang kejayaan peradaban Islam yang kami simak dari buku-buku sejarah ketika omongan Bu Nurul atau Bu Parsiati sang guru sejarah kami anggap sebagai dongeng pengantar tidur siang belaka.

Mimpi saya akan Khilafah juga berbeda dengan bunga tidur. Mimpi bermakna akan sebuah cita-cita yang layak diperjuangkan. Sebagaimana dulu motivator-motivator handal sekelas Ippho Santosa, Setia Furqon Kholid, Mario Teguh atau motivator lokal semacam Bang Umar yang kerap memberikan motivasi agar jangan malu untuk bermimpi sebab mimpi tersebut akan menjadi sebuah kekuatan besar bagi kita untuk memperjuangkannya. Atau juga motivasi novelis sekelas Andrea Hirata dalam bukunya yang fenomenal  yang berjudul "Sang Pemimpi" sampai-sampai penyanyi kondang semacam Giring Nidji pun ikut-ikutan menyanyikannya.

Jika mereka, para motivator tersebut memotivasi kita untuk bermimpi, lantas salahkah saya yang telah tersadar bahwa syariat Islam bukan dongeng mempunyai mimpi akan hidup sejahtera di bawah naungan Khilafah? Saya kira tidak. Sebab, siapa pun orangnya yang mempunyai dasar keimanan yang kokoh akan senantiasa berjuang mewujudkan mimpinya tersebut.

Maka sekali lagi saya sampaikan : KHILAFAH ADALAH MIMPI.
Bukan mimpi di siang bolong sebagaimana anggapan orang-orang apatis.
Atau DONGENG sebagaimana anggapan saya dulu.

Jumat, 08 Januari 2016

IDIOLOGI ISLAM BUKAN PRASMANAN

Saya hanya sekedar ingin mengatakan bahwa, kita dalam hal ini sebagai salah satu mahluk yang kita kenal dengan nama Manusia adalah memang spesies ciptaan Tuhan yang sangat angkuh dan paling awam dalam persoalan ilmu bersyukur.
Judul ini harus dikasih tanda petik di awal dan akhir, karena sesungguhnya itu istilah ngawur dari sudut apapun kecuali dari sisi Kejahilan akut dalam ber islam.
Apakah anda Berislam karena Tuhan atau karena hanya karna ingin di bilang muslim..?
Saya disini tidak sedang berfatwa apalagi menggurui umat manusia, tapi sepertinya ada satu hal yang mesti kita baca ulang dan memang harus kita pelototi selama mungkin. Tentang kerakusan dan ketidak warasan kita menolak Syariah Tuhan.
Bahwa kita masih berada pada ruang dan waktu yang cukup jauh berjarak dari apa yang Tuhan dan Nabi maksudkan dan cita-citakan.
Sekali lagi, Hidup mati kita belum benar-benar lillahi Robbil ‘Alamiin. Belum islam Kaffah, belum islam idiologis. Hanya sebatas islam copot sana, copot sini semau kita. Tauhidnya di ambil syariahnya di preteli, ibadahnya di ambil, muamalahnya di plintir, dsb.
Hanyalah sekedar topeng pemulus dan pelicin dari aksi hipokrisi yang selama ini dilakukan. Hampir setiap hari manusia muslim secara sadar atau tidak, sengaja atau tidak, mereka sibuk menipu Tuhan di sana sini lewat berbagai macam profesi yang ada, mulai dari penguasa, pejabat, sampai ketingkat Ustadz yang kita kenal sebagai pelayan Tuhan yang paling dekat denganNya. Hampir sebagian semua mempermainkan sang Pemilik Nama Tuhan.
Jamaah jumah dunia maya sesama manusia lemah yang saya cintai..
Islam bukan kostum drama, sinetron atau tayangan-tayangan tevi murahan seperti itu. Islam itu substansi nilai moral, akhlak, idiologi sekaligus.
Bahkan Islam tidak sama dengan tafsir agama lain atau system lain. Islam itu punya ciri kas unik yaitu Aqidah dan Syariah = Idiologi .
Islam Tidak sama dengan pandangan pemeluknya yang berbagai-bagai tentang Islam. Islam tidak sama dengan Demokrasi, Sosialis, Syiah, yahudi ataupun nasrani.
Islam yang sebenar-benarnya Islam adalah dan hanyalah Islam yang sejatinya dimaksudkan oleh Allah adalah ISLAM KAFFAH.
Islam ngak butuh demokrasi, islam ngak butuh wakil DPR, islam ngak butuh sosialisme, islam ngak butuh campur tangan manusia yang serba lemah dan nafsu itu. Allah hanya ingin makhluknya bernama manusia menjalani printah syariahnya, tunduk dan patuh segala ketetapannya. Bisa...!?
Namun. Mengapa ada pilihan lain selain hukum dan ketetapan Allah?
Agama islam bukanlah agama prasmanan yang sesuka hati kita ambil yang ini, buang yang itu. Ayat ini menguntungkan sementara ayat yang lain tidak relevan. Hebay betul jadi manusia ya..!?
Islam bisa hanya disobek-sobek, diambil salah satu sobekannya yang menarik bagi seseorang karena enak dan sesuai dengan seleranya. Islam bisa diperlakukan hanya dengan diambil salah satu unsurnya, demi mengamankan ambisi dan kepentingannya, hidupnya ia penuhi dengan pelanggaran-pelanggaran terhadap Islam.
Islam bisa hanya diambil sebagai ikon untuk mengkamuflase kekufuran, kemunafikan, kemalasan pengabdian, korupsi atau keculasan.
Islam bisa dipakai untuk menipu diri, diambil satu faktor pragmatisnya saja, yang penting saya sudah tampak tidak kafir, sudah merasa diri bergabung dengan training shalat, sudah kelihatan di mata orang lain bahwa saya bagian dari orang yang mencari sorga.
Sedemikian rupa sehingga kita selenggarakan dan lakukan berbagai formula dunia modern, industri liberal, mode show, pembuatan film religi, kampaye pemilu, yang penting dikasih kostum Islam.
Tentu saja tidak usah kita teruskan sampai tingkat menyelenggarakan tayangan Gosip Islami, Lokalisasi Pelacuran Islami, pacaran islami, korupsi jamaah islami, Peragaan Busana jilbob Wanita Muslimah islami atau Sampai kemudian dengan tolol dan ahistoris dakwah islami menggunakan system kuffur..!?
Hoo.. Please...!!
Dari pada islam di jadikan agama prasmanan, dan merusak kemurnian islam. Bagaimana saya sarankan..
" Buat agama baru, supaya kita bebas plintir sana-plintir sini.. Bagaimana atau... Murtad saja sekalian? Anda setuju...!? "
Sumber : https://www.facebook.com/adi.revolter/posts/157781631257758?fref=nf

Senin, 04 Januari 2016

MASUK NERAKA GARA-GARA LALAT

Banyak diantara saudara kita yang menganggap sepele dosa syirik, camkan benar dan hayati hadits ini...
dari Thariq bin Syihab RA berkata,''Rasulullah SAW bersabda :
"Seseorang masuk surga karena lalat dan seseorang masuk neraka juga karena lalat..''
Para sahabat bertanya : ''Bagaimana itu bisa terjadi wahai Rasulullah..?'' 
Beliau bersabda : Ada dua orang yang melewati kaum yang memiliki berhala, tidak ada seorangpun yang boleh melewatinya kecuali mengurbankan sesuatu kepadanya (berhala), Kaum itu berkata kepada salah seorang dari mereka berdua : ''Berkurbanlah...!'', ia menjawab aku tidak punya apa2 untuk berkurban, mereka berkata kepadanya lagi : ''Berkurbanlah walau dengan lalat, maka ia berkurban lalat. Lalu mereka membebaskannya untuk lewat, Dia masuk NERAKA (kata Rasulullah).
Kemudian kaum itu berkata kepada orang yang kedua : ''Berkurbanlah !!!'', ia menjawab : ''Aku tidak mungkin mengurbankan sesuatu kepada selain Alloh ta'ala, maka mereka membunuhnya, Ia masuk SURGA.''
(HR. Ahmad)
HATI-HATI wahai saudaraku...
jangan sampai karena mempertahankan budaya nenek moyang sehingga masuk ke neraka, jika lalat yang DIANGGAP SEPELE BINATANG KECIL YANG TIDAK ADA HARGANYA (nggak ada yang jual kan..?)
JIKA DIPERSEMBAHKAN KEPADA SELAIN ALLOH AKAN MENJADI BESAR DOSANYA APALAGI YANG BERUPA MINYAK, KEMBANG,TELUR, AYAM, KAMBING, KERBAU, SAPI DLL. Ya Alloh lindungi kami dan keluarga kami dari syirik yang kami ketahui atau yang tidak kami ketahui...Aamiin...
 — 

Rabu, 09 Desember 2015

SEJARAH PELAJAR ISLAM INDONESIA (PII) SUMATERA UTARA

Oleh : Ansor Rasyidin Assa’ad[1]

SATU
Dari Kevakuman Hingga Sukses Menyelenggarakan Muktamar
Sejarah kehadiran Pelajar Islam Indonesia (PII) di Sumatera Utara tidak terlepas dari sejarah PII di tingkat pusat yang berlaku secara nasional. PII yang berdiri pada 04 Mei 1947 di Yogyakarta perlahan-lahan mulai mengembangkan sayapnya ke luar daerah dengan membentuk komisariat seberang. Termasuk di dalamnya komisariat-komisariat yang ada di  Provinsi Sumatera yang kemudian dimekarkan oleh Komite Regional Nasional Indonesia menjadi tiga Provinsi[2] : (1) Sumatera Utara yang di dalamnya termasuk Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli, (2) Sumatera Tengah, dan (3) Sumatera Selatan.
Namun hingga kini tidak begitu jelas mengenai kehadiran PII di Sumatera Utara pada masa-masa awal pembentukannya. Berdasarkan wawancara dengan Prof. Usman Pelly pada 18 Maret 2015 diperoleh informasi bahwa pada tahun 1959 PII di Sumut mengalami kevakuman dikarenakan ketua umumnya yang bernama Syarifullah, warga Jalan Puri Medan sudah terlalu sibuk dengan urusan pekerjaannya sehingga tidak sempat lagi dalam mengurus PII. Beliau bahkan sudah mempersiapkan Pj untuk menggantikannya dalam memimpin amanah kepemimpinan PII Sumatera Utara. Akibat dari hal ini maka wajar apabila PII di tingkat cabang juga tidak aktif.
Sebagai respon dari hal tersebut, maka Usman Pelly yang merupakan kader PII di Aceh begitu datang ke Sumut pertengahan Agustus 1959 bersama beberapa orang kader langsung membuat gebrakan guna mengaktifkan kembali PII di Sumatera Utara. Dengan berkantor di Gedung Nasional Medan atau GNM (sekarang jadi cagar budaya di persimpangan Jl. Sutomo-Jl.Veteran Medan) mereka mulai mendatangi satu persatu cabang-cabang yang ada. Akhirnya pada Januari 1960 diadakan Konferensi Wilayah di Kabanjahe dan terpilihlah Usman Pelly sebagai ketua umum PW PII Sumut periode 1960-1962.
Dalam perkembangannya, di saat mulai aktif berkantor di GNM bersama beberapa organisasi perjuangan, sering terjadi bentrok dengan kader-kader pengurus organisasi sayap PKI. Akhirnya dengan pertimbangan keamanan organisasi, maka PII akhirnya pindah ke Yayasan Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) di Jalan Sisingamangaraja dengan sekretarisnya Maskawi Sarkawi merupakan salah seorang mahasiswa UISU. Maka sejak itulah PII mulai memusatkan pergerakan dari UISU ke daerah-daerah.
Meskipun terusir dari kantor di GNM, melalui UISU PW PII Sumatera Utara di bawah kepemiminan Usman Pelly berhasil membuat gebrakan yang cukup mengagumkan. Dimulai dengan mengaktifkan daerah-daerah yang vakum hingga akhirnya pada tahun 1961 mendapat kepercayaan dari PB PII periode 1959-1961 (diketua oleh Tahir ZH) untuk mengadakan Muktamar Nasional IX yang memilih ketua umumnya bernama Ahmad Djuwaeni. Belakangan, akibat kuatnya situasi eksternal PII serta kokohnya dominasi PKI dalam berbagai sektor kehidupan sosial politik masyarakat, maka kepengurusan PB PII ini mengeluarkan Khittah Perjuangan PII sebagai rambu-rambu pergerakan jangka panjang bagi kader dan pengurus-pengurus PII[3].
Pada masa kepemimpinan Usman Pelly, terdapat 12 cabang PII di bawah naungan PW PII Sumut. Di antaranya yang paling aktif ialah Sibolga, Siantar, Padangsidimpuan, Kabanjahe, Pangkalanbrandan dan Binjai[4].

DUA
Sekretariat PII Sumut : Berawal dari Permusuhan dengan Komunis
Sebagaimana dijelaskan di muka, bahwa ketika diaktifkannya kembali PII Sumut di bawah kepemimpinan Usman Pelly pada tahun 1959, maka kepengurusan pada masa itu menempati Gedung Nasional Medan (GNM) sebagai sekretariat bersama dengan ormas lainnya termasuk pula ormas sayap Partai Komunis Indonesia (PKI). Gedung tersebut berlokasi di persimpangan Jl. Veteran-Jl. Sutomo Medan[5]. Namun karena perbedaan ideologi perjuangan tak dapat dipungkiri sering terjadi pertikaian antara kader PII dengan kader PKI. Bahkan, Usman Pelly pada saat itu hampir terjatuh dari tangga karena berkelahi dengan kader PKI. Maka akhirnya sekretariat PII pun akhirnya dipindah ke Yayasan UISU.
PII, di mana pun selalu menjadi kekuatan yang cukup ampuh dalam mewaspadai ancaman laten gerakan komunis di Indonesia. Begitu pula di Sumatera Utara. PII Sumut bersama dengan Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan elemen umat muslim lainnya saling bahu-membahu dalam melawan kekuatan kaum komunis yang terkenal sejak lama sebagai pengkhianat bangsa. Dan karena keseriusan PII inilah maka akhirnya setelah Masyumi dibubarkan oleh rezim orde lama Soekarno, maka eks pengurusnya seperti Lukman Lubis, Agus Sulaiman Lubis, Dul Asri Johan, dan Hj. Sariani AS mendirikan Yayasan Pembangunan Islam Sumatera Utara (Yapisu) dan memberi amanah kepada PII untuk menempati gedung eks sekretariat Masyumi di Jl. Purwo No. 3 Medan agar tetap terpelihara dan tidak diambil alih oleh antek-antek komunis[6].
Pada saat meletusnya peristiwa kudeta PKI yang terkenal dengan sebutan Gerakan 30 September atau G30S/PKI tahun 1965, PII beserta umat Islam lainnya termasuk Serikat Tani Islam Indonesia (STII), Serikat Nelayan Islam Indonesia (SNII), Kongres Buruh Islam Merdeka (KBIM) serta para pengurus Yapisu menjadikan gedung di Jl. Purwo No. 3 sebagai markas dengan mengkonsolidasi ummat untuk ikut serta dalam barisan perjuangan menumpas komunisme[7]. Hal ini ditandai dengan tampilnya PII sebagai salah satu motor penggerak dalam Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) angkatan 1966. Sedangkan lain-lainnya terlibat dalam kesatuan aksi lainnya seperti kesatuan aksi tani, buruh dan nelayan.
Setelah orde lama lengser dan digantikan oleh orde baru Soeharto, ada keinginan dari pemerintah kota Medan untuk mendirikan sarana pendidikan di sekitar Jalan Purwo. Selain itu dalam internal kepengurusan Yapisu sendiri juga berkeinginan yang cukup kuat untuk membangun sebuah pesantren modern. Oleh sebab itulah maka Yapisu berniat untuk menjual gedung di Jl. Purwo No.3 Medan. Namun rupanya niat Yapisu untuk menjual gedung tersebut mendapatkan pertentangan dari para eks pengurus Masyumi serta pengurus-pengurus PII[8]. Hal ini dikarenakan mereka ingin tetap mempertahankan sejarah keberadaan Masyumi di Sumatera Utara. Polemik yang ada menyebabkan mantan ketua Masyumi pusat, Bapak H. Muhammad Natsir mengirimkan surat kepada Yapisu tertanggal 20 Februari 1974 dan hanya berucap “La Haula wala kuwata ila billahil ‘aliyil ‘azim”.
Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang, maka akhirnya Yapisu tetap menjual aset Masyumi berupa tanah dan gedung di Jl. Purwo No. 3 dan Percetakan Luhur di Jalan Sutomo Sambu Medan. Uang hasil penjualan tersebut dibelikan sebidang tanah dengan luas kurang lebih 8 Ha dan membangun di atasnya 6 buah ruang belajar, ruang mesin, dan ruang praktek. Selain itu, Yapisu juga membeli sebidang tanah dan bangunan di atasnya yang terletak di Jalan Brigjend Katamso No. 325/27 Sei Mati Medan milik Dr.H.M Jenu, mantan ketua PC PII Medan  Baru. Dalam perkembangannya Yapisu mengizinkan PII, STII, SNII, dan KBIM untuk menempati gedung tersebut melalui Surat Keputusan No. 01/YPI/1974 tertanggal 10 Maret 1974 yang ditanda tangani oleh Lukman Lubis selaku ketua dan M.Arsyad Lubis selaku sekretaris. Isi surat tersebut adalah :

Kesatu
:
Yapisu akan segera membeli sebuah bangunan yang akan dimanfaatkan untuk kepentingan kantor tempat bekerja dsbnya bagi KBIM, STII, SNII, PII dan Yapisu sendiri dalam kedudukan dan hak yang sama
Kedua
:
Meminta kepada KBIM,STII, SNII, PII yang selama ini berkantor di Jalan Purwo No.3 Medan, agar segera meninggalkan kantor Jl. Purwo tersebut, dan jika bersedia dapat pindah sementara ke Jl. Perdana No.46 Medan , atas biaya-biaya pengangkutan yang ditanggung oleh Yayasan sendiri, menunggu penyelesaian proses pembelian dan pengosongan bangunan yang disebut pada kesatu di atas
Ketiga
:
Yayasan Pembangunan Islam Sumatera Utara dalam waktu singkat akan membongkar bangunan kantor Jalan Purwo No.3 Medan

Kemudian untuk menindaklanjuti surat tersebut, maka kelima belah pihak mengadakan  persetujuan bersama yang dihadapkan pada Notaris Adi Putra Parlindungan, S.H dan dituangkan dalam kertas bermaterai pada hari Sabtu, 6 April 1974 dengan register nomor : 41558/10/74. Surat persetujuan tersebut berisi antara lain menetapkan status tanah berukuran 20 x 30 meter yang telah dibeli di Jalan Brigjend Katamso No.27/325 Sei Mati Medan akan diserahkan hak pakainya kepada STII Sumut, SNII Sumut, KBIM Sumut, PII Sumut, dan Yapisu sendiri dengan ketentuan[9] :
a.  Pihak pemakai wajib memelihara tanah dan bangunan tersebut dan tidak dapat menukar dengan alasan apapun kepada pihak lain.
b. Yayasan Pembangunan Islam Sumatera Utara tidak mengganggu gugat kedudukan pemakai yang tersebut di atas (merubah, menjual, menjadikan agunan dan lain-lain sebagainya) kecuali setelah mendapat persetujuan pihak pemakai.
c.  Pemakai-pemakai tidak dapat merobah haknya kepada pihak lain ataupun merobah bangunan baik sebagian atau keseluruhannya sebelum mendapat persetujuan Yapisu bersama dengan organisasi-organisasi tersebut di atas.

Menurut berbagai keterangan, pada masa itu hingga beberapa lamanya di atas tanah itu berdiri sebuah bangunan semi permanen yang dipakai oleh pihak-pihak di atas untuk kepentingan organisasinya[10]. Sampai akhirnya PW PII Sumut periode 19...-19... di bawah kepemimpinan Abdurrahman sebagai Ketua Umum dan Awaluddin Dalimunthe sebagai Sekretaris Umum telah berhasil membangun pondasi kantor yang akan dibangun secara permanen. Namun karena berbagai hal maka pembangunan tidak dapat dilanjutkan[11].
Pada tahun 1985, pemerintah orde baru Soeharto mengeluarkan Undang-Undang No.8 tahun 1985 tentang Keormasan yang mengharuskan semua organisasi mencantumkan Pancasila sebagai satu-satunya asas. PII yang sejak awal berdirinya telah memaklumkan bahwa asas yang digunakan hanyalah Islam, dengan tegas menolak pemberlakuan UU tersebut. Puncaknya ialah ketika pemerintah menerbitkan SK Mendagri No. 120 tahun 1987 yang melarang kegiatan PII sehingga PII mengalami kevakuman dan mengalami gerakan bawah tanah[12].
Kevakuman PII secara nasional berlaku juga untuk daerah Sumatera Utara. Sejak dilarangnya PII, maka kantor Jl. Brigjend. Katamso No. 325 Sei Mati Medan selalu diawasi oleh intel sehingga apabila didapati PII melakukan kegiatan maka akan selalu dibubarkan. Kondisi seperti ini mengharuskan kader PII juga bergerak di bawah tanah sehingga kantor PII di Jl. Brigjend. Katamso No. 325 Sei Mati Medan ditinggal oleh para pengurusnya.
Kevakuman aktivitas PII mengakibatkan pula kevakuman aktivitas di kantornya tersebut sehingga pada tahun 1994 Yapisu mengizinkan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Perwakilan Sumatera Utara. Disinyalir dengan adanya surat Yapisu No. 01/YAPISU/VII/1994 dijadikan dasar bagi DDII untuk membangun gedung di pertapakan tanah tersebut[13].
Pasca reformasi PII mulai aktif lagi secara nasional tak terkecuali di Sumatera Utara. Maka PW PII Sumut pun secara perlahan-lahan kembali menduduki kantor  di mana dulunya PII berada. Pada tahun 2002 tepatnya pada masa kepemimpinan Muhammad Harry Naldi sebagai Ketua Umum PW PII Sumut periode 2001-2003 kerap terjadi bentrokan antara kader PII dengan pengurus DDII Perwakilan Sumatera Utara. Salah satu bentrokan yang terjadi yang sangat fenomenal adalah pengambil alihan tanah dan gedung dengan cara merusak plank DDII dan klinik Azizi yang disewakan pihak DDII untuk kepentingan komersil pada tanggal 25 Februari 2002 pukul 06.00 WIB (ba’da sholat subuh) oleh kader PII sebanyak 50 orang. Akibat dari insiden ini dua orang kader PII mendekam di tahanan Kejaksaan Negeri Medan selama 6 jam dan akhirnya dibebaskan setelah ketua umum mengetahuinya dan memberikan jaminan[14].
Setelah melalui proses yang cukup panjang, maka akhirnya diadakan ishlah antara kedua belah pihak dengan mediator PW Perhimpunan KB PII Sumut. Puncaknya pada tanggal 14 Rajab 1423 H / 21 September 2002 dilakukan kesepakatan bersama yang pada intinya ialah menjunjung tinggi pelaksanaan ishlah dengan aplikasi penggunaan bersama kantor di Jl. Brigjend. Katamso No. 325 Sei Mati Medan terhitung sejak tanggal 23 September 2002 [15].




[1] Penulis adalah Ketua II Bidang PPO PW PII Sumut periode 2013-2015. Tulisan ini masih bersifat rintisan. Oleh sebab itu masih terbuka peluang bagi kader-kader lainnya untuk bisa lebih menyempurnakannya.
[2] Budi Agustono, dkk. Para Gubernur Sumatera Utara Kajian Sejarah, Sosial, dan Budaya. Medan : USU Press. h. 19
[3] Djayadi Hanan.Gerakan Pelajar Islam di Bawah Bayang-Bayang Negara. Jakarta : UII Press. 2006. h. 65
[4] Pada masa itu struktural di bawah PW ialah Pengurus Cabang dan Pengurus Ranting. Bandingkan dengan pada masa sekarang yang di bawah PW ada PD dan PK. Sedangkan teritorinya juga masih belum jelas.
[5] Keterangan Prof. Dr. Usman Pelly dalam pemberitaan Harian Waspada, 6 Maret 2015 hlm.A1 berjudul “Upaya Perubahan Peruntukan GNM : Awalnya Selembar Surat Tak Bernomor dan Tak Berkepala Surat”
[6] Surat Perhimpunan KB-PII Sumut tanggal 25 Jumadil Akhir 1423 H / 02 September 2002 M yang ditujukan kepada Ketua dan Sekertaris DDII Sumut Ikhwal Peringatan Sehubungan Kantor PW-PII Sumatera Utara
[7] Ibid
[8] Konon, pada saat itu kader PII yang tidak menyetujui penjualan kantor di Jalan Purwo memilih sikap untuk mengundurkan diri. Salah seorang tokoh yang masih bisa dijumpai saat ini ialah Bapak Muthollib, pemilik Yayasan Pesantren Raudhotul Hasanah Medan.
[9] Dalam surat perjanjan tersebut ditandatngani oleh Lukman Lubis (Ketua Yapisu), Agus Sulaiman Lubis (Ketua Umum STII Sumut), M.Yusuf Pardamean Nst (Ketua Umum PII Sumut periode 1973-1975), D.A Johan (Ketua KBIM Sumut), dan H.M Dahlan (Ketua Umum SNII Sumut)
[10] Penulis mendapat kesaksian dari beberapa KB PII di daerah, di antaranya : Kanda Asmen (KB PII Simalungun) dan Kanda Darwin (KB PII di Rantauprapat, Labuhanbatu)
[11] Draft Surat Pernyataan Bersama Pelaku Sejarah. Para pelaku sejarah dalam surat ini a.l : H.M Arsyad Lubis SMHK (Sekretaris Yapisu), H.A.Ghazali Lubis (Ketum PW PII Sumut 1969-1971), Ir. H.M Yusuf Pardamean Nst (Ketum PW PII Sumut 1973-1975), H. Ahmad Husein, S.E (Ketua I PW PII Sumut 1973-1975), Drs. H. Sahbullah Siregar (Sekum PW PII Sumut 1973-1975), Ridwan Nasution (Ketua II PW PII Sumut 1973-1975).
[12] Djayadi Hanan. Gerakan Pelajar Islam.....h. 155. Disebutkan juga bahwa secara resmi PB PII tidk pernah menerima SK tersebut.
[13] Beredar informasi bahwa pembangunan gedung tersebut sebagaimana adanya sekarang didanai oleh sebuah lembaga dari Saudi Arabia
[14] Surat PW PII Sumut No. : PII-AB/SEK/ 050/VIII/1423-2002 perihal Tanggapan dan Penjelasan yang ditujukan kepada Pengurus DDII Perw. Sumatera Utara. Surat ini tertanggal 28 Jumadil Ula 1423 H / 08 Agustus 2002 M. Adapun kader PII yang mendekam di tahanan adalah Kanda Syaiful Amri (KB PII Langkat, menetap di Binjai) dan Kanda Umar (menetap di Aceh)
[15] Surat Kesepakatan Bersama ini berkop surat DDII Perw. Sumut dan ditandatangani oleh Mhd. Harry Naldi (Ketua Umum PW PII Sumut), H. Ahmad Husein (Ketua Umum DDII Perw. Sumut) serta disaksikan oleh Majelis Pertimbangan DDII Perw. Sumut dengan Prof. Drs. H. Abdullah Ya’cub Hsb selaku Ketua dan Drs. H. Abdul Halim Hrp selaku Sekretaris